Majelis Hakim Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta menyunat vonis terdakwa kasus dugaan gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU), Angin Prayitno Aji. Bekas pejabat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) itu akhirnya dihukum 5 tahun penjara dari semula 7 tahun.
Kendati begitu, hakim PT Jakarta tetap memvonis Angin Prayitno agar membayar denda Rp750 juta subsider 3 bulan kurungan. Pun membayar pengganti sebagai pidana tambahan sebesar Rp3,7 miliar atau hartanya disita jika tak dibayar setelah putusan berkekuatan hukum tetap.
Ini bak mendapatkan durian runtuh. Pangkalnya, vonis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta lebih rendah daripada jaksa penuntut umum (JPU). Kala itu, JPU menuntut Angin Prayitno dijatuhi hukuman 9 tahun penjara serta membayar denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan dan uang pengganti Rp29,5 miliar.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun heran dengan putusan tersebut. Sebab, tidak pernah menerima pemberitahuan soal memori bandingnya.
"Tim jaksa KPK ternyata tidak pernah menerima pemberitahuan memori banding dari Panmud (Panitera Muda) pada PN Jakarta Pusat," jelasnya, Jumat (15/12).
"Sesuai dengan ketentuan, tim jaksa juga wajib mendapatkan tembusan dari memori banding dimaksud sebagai salah satu langkah men-counter dalil terdakwa, termasuk menguatkan argumentasi analisa dan amar tuntutan," imbuhnya.
Ali mengungkapkan, KPK hingga kini hanya menerima salinan putusan banding Pengadilan Tipikor Jakarta. Karena itu, pengadilan diharapkan segera mengirimkan kelengkapan tembusan administrasi, baik di tingkat banding maupun kasasi.
"Tim jaksa KPK masih pikir-pikir untuk mengambil langkah hukum berikutnya di tingkat kasasi," katanya.
Kronologi perkara
Terbongkarnya peran Angin Prayitno setelah KPK mengembangkan kasus dugaan suap penanganan pajak yang menjerat dua anak buahnya di Ditjen Pajak Kemenkeu, Yulmanizar dan Febrian. Keduanya diperintah dan diarahkan Angin Prayitno agar merekayasa penghitungan kewajiban pembayaran pajak sejumlah perusahaan, seperti PT Gunung Madu Plantations (GMT), PT Bank Panin Indonesia, dan PT Jhonlin Baratama.
"Atas pengondisian penghitungan pajak untuk 3 wajib pajak dimaksud diduga terjadi penerimaan sebesar Rp15 miliar dan S$4 juta," ungkap Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, kala itu.
Selain pejabat pajak, kasus turut menyeret beberapa nama konsultan pajak perusahaan. Misalnya, Ryan Ahmad Ronas dan Aulia Imran Maghribi (PT GMT), Agus Susetyo (PT Jhonlin), dan Veronika Lindawati (Bank Panin).
Dalam perkara tersebut, para konsultan pajak terbukti memberikan suap puluhan miliar rupiah kepada Angin cs. Mereka pun disasar KPK sebagai "pesakitan". Adapun peran pihak perusahaan belum didalami.
Setidaknya Angin Prayitno bersama koleganya di Ditjen Pajak, Dadan Ramdani, menerima suap hingga Rp55 miliar. Perinciannya, Rp15 miliar dari PT GMT rentang Januari-Februari 2018, S$500.000 dari Bank Panin pada medio 2018, dan S$3 juta dari PT Jhonlin sekitar Juli-September 2019.
Kasus pun dikembangkan kembali hingga KPK menangkap Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama di Bantaeng, Sulawesi Selatan, Wawan Ridwan. Ia diduga terlibat dalam perkara suap pajak Angin Prayitno.
KPK lantas mengembangkan kasus suap terhadap Angin Prayitno tersebut ke tindak pidana gratifikasi dan TPPU. Sebab, ia diduga menyamarkan harta kekayaannya sebesar Rp44 miliar dan menerima gratifikasi dari sejumlah perusahaan dan individu sebesar Rp29,5 miliar pada 2014-2019.